Hari ini ingin nulis tentang sampah-sampah hati dari tetangga sebelah yang kebetulan lewat.
tentang pernikahan.. ada orang yang bilang nikah itu enaknya cuma 5%, sisanya 95% itu enak banget. mungkin benar, mungkin tidak. tergantung persepsi orang yang menjalani. tapi setelah bertahun-tahun menjalani, pasti akan ada masanya dimana pernikahan terasa berat. terlebih di saat media sosial bertebaran seperti saat ini.
ada masa di mana, suami terkesan cuek di rumah, malas di rumah, enggan membantu urusan rumah, bahkan sekedar menengok ke arah anaknya ketika sang anak sedang bertingkah lucu pun sulit, karena matanya terpukau pada handphone dan teman-teman di media sosialnya. sibuk menyapa teman-temannya, terlebih teman-teman perempuannya, yang sebenarnya jika dipikir dengan akal sehat, sangat tidak pantas. istilah anak mudanya, sudah punya anak istri, tapi masih suka tepe-tepe (tebar pesona - tebar pesona). sungguh menjijikkan. dan agar tidak ketahuan oleh sang istri, ia lakukan di media sosial yang jarang diakses oleh istrinya.
ada masa di mana, suami belanja sangat banyak untuk hobinya sendiri, tapi kemudian sangat pelit untuk kebutuhan makan anak dan istrinya. bilang istrinya jangan boros, ketika memberikan uang yang tidak seberapa untuk makan 3 kali sehari 3 orang anaknya dan istrinya. bukan istrinya tidak bersyukur, namun istrinya tentu sudah berhitung berapa besar pengeluaran untuk anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang, belum lagi porsi makan suami yang juga tidak sedikit.
dan ketika istri berbelanja dengan akun suami, betapa marah suaminya. padahal jika istrinya yang meminta dibelikan, tidak langsung dibelikan, padahal apa yang istri minta itu adalah kebutuhan yang penting dan mendesak. terkadang suami tidak mengetahui itu.
dan akan ada banyak lagi percikan ketidakcocokan antara suami istri yang terkadang tidak menyenangkan, namun hanya disimpan dalam rumah tangga itu sendiri. walau terkadang ada juga yang tidak dapat menahan dan akhirnya dikeluarkan dan naasnya diketahui banyak orang, dan akhirnya menjadi bahan perbincangan.
jadi masih berpikir rumah tangga akan selalu enak dan enak banget?
apakah konsultasi kepada orang yang lebih paham atau sekedar bisa mendengar tanpa memberikan penilaian itu diperlukan?
sudah seperlu itukah konsultan pernikahan, psikolog untuk turut ambil peran untuk keberhasilan suatu rumah tangga?
perlukah ada profesi baru yang berperan sebagai tempat sampah pernikahan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar