Entah
kenapa setiap kali saya selesai mengikuti suatu diklat, akan ada perubahan yang
cukup drastis dalam rutinistas pekerjaan saya di kantor. Pertama kali ikut
diklat prajabatan, saya dipindah ke urusan lain, meski masih dalam satu unit
yang sama. Bahkan itu terjadi ketika saya masih dalam posisi menjalani
pendidikan dan pelatihan. Kedua kalinya
adalah ketika saya selesai mengikuti diklat calon widyaiswara. Sesampainya di
kantor, saya mendengar kabar, bahwa instansi tempat saya bekerja akan mengalami
remunerasi pada awal tahun 2013. Yang konsekuensinya adalah harus datang lebih
awal dan pulang lebih sore.
Lalu
apa masalahnya? Sewaktu saya masih belum memiliki anak, hal itu tidak menjadi
masalah. Toh saya terbiasa disiplin. Datang sesuai peraturan dan pulang sesuai
peraturan, meskipun yang lainnya tidak ada yang berperilaku demikian. Meskipun
tidak ada kompensasi atas disiplin yang saya lakukan. Tapiiii.. menjadi masalah
ketika saya akhirnya menyesuaikan diri, datang seselesainya pekerjaan di rumah
dan pulang ketika mayoritas ibu-ibu sudah pulang. Saya berani melakukan hal
tersebut, karena saya menyadari bahwa pekerjaan saya dalam satu hari tersebut
saya pastikan sudah terselesaikan ketika saya pulang. Jadi saya pulang juga
menggunakan perhitungan. Dan hampir setiap hari saya menargetkan pekerjaan apa
saja yang harus selesai setiap harinya. Sekarang, sejak tanggal 2 Januari 2013,
hal tersebut tidak bisa saya lakukan lagi. Tidak bisa datang jam 8 dan tidak
bisa pulang jam 3. Harus absen dan harus berebutan lift serta harus lari-larian
mengejar jemputan. Harus rela keluar rumah tanpa melihat Umar membuka mata.
Harus iklhas ketika Umar menuntut waktu lebih dengan tidur lebih malam daripada
sebelumnya. Disiplin yang mahal. Berbeda jauh dengan harapan ketika ingin
menjadi PNS. Wanita enaknya jadi PNS, waktunya fleksibel. Sekarang itu hanya
tagline belaka. Sedih.
Tapi
jangan melihat sesuatu hanya berdasarkan ketidaknyamanan yang kita rasakan,
atau yang kita persepsi sebagai derita kita. Sebenarnya saya masih lebih
beruntung dibandingkan yang lain. Karena rumah Mertua ada di pusat kota,
sehingga hanya butuh 20 menit saja naik ojeg pada pagi hari. Sementara
orang-orang harus berkejaran dengan waktu di pagi hari, berangkat subuh dan
pulang lepas magrib bagi yang bertempat tinggal di luar Jakarta. Pada point ini
seharusnya saya bersyukur. Bersyukur di tengah macetnya Jakarta, rumah saya
terbilang dekat dengan kantor.
Syukur
yang kedua, adalah ketika saya menyadari, ini adalah bentuk melatih disiplin
pegawai. Saya masuk sebagai PNS ingin mengabdi kepada Negara. Bullshit. Tp
sedikit banyak, saya mau jadi seseorang yang punya kontribusi untuk Negara,
meskipun tidak akan berpengaruh banyak. Saya miris ketika masuk ke dalam
instansi ini, tp dengan adanya remunerasi semoga aja budaya kerja instansi ini
dapat lebih tertata. Setidaknya sudah ada keadilan sekarang, meskipun sedikit.
Yang datang dan pulang sesuai jam yang berlaku pada aturan yang ada, maka akan
mendapatkan kompensasi yang sesuai, meskipun tidak jelas selama jam kerja itu
dia melakukan pekerjaan yang seharusnya atau tidak.
Syukur
ketiga adalah semakin banyak orang yang melaksanakan ibadah sunnah dan wajib
tepat pada waktunya. Sholat dhuha menjadi sering, karena menganggap daripada
waktu terbuang percuma tanpa melakukan apapun. Sholat Dzuhur jadi lebih ramai,
karena berjamaah dan ditambah dengan sholat rawatib yang mengiringinnya. Begitu
pula dengan sholat Ashar. Subhanallah. Jadi meskipun terasa berat, tapi saya
rasa memang inilah yang terbaik untuk dilakukan pada saat ini. PR yang
selanjutnya adalah bagaimana mensiasati macetnya jalan di Jakarta, agar waktu
bersama keluarga tidka semakin tersita hanya karena terlalu lama menghabiskan
waktu di jalan. Dan ini salah satu PR pula bagi insane perhubungan. Siapakah
yang bisa menjawab tantangan dan permasalahan ini? Kita lihat saja siap.
Wallahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar