Rabu, 21 Januari 2015

Jangan tunggu keretanya pergi, tapi larilah..

Beberapa hari ini saya berusaha menyempatkan diri untuk berkeliling ke rumah rekan ataupun sekedar bertemu di tempat tertentu yang sudah disepakati sebelumya. Dalam perjalanan menuju tempat tersebut, Alhamdulillah karena saya tidak memiliki kemampuan untuk mengendarai motor ataupun mobil, maka pilihan moda trasnportasi saya jatuh pada kereta, bis trasnjakarta, ojeg ataupun angkot.

Karena kebetulan tempat yang saya kunjungi dapat diakses dengan kereta, maka moda trasnportasi yang saya gunakan adalah kereta. Aman, cepat, mudah dan murah. Tapi bukan berarti naik kereta tidak dengan perjuangan. Terlebih ketika waktu yang kita sepakti sudah dekat dan tidak ada alternative lain selain kereta. Pernah suatu kali, saya harus berlarian, atau bahkan memanjat tembok dengan posisi kereta berada di depan saya, demi naik ke dalam kereta itu karena saya harus mengejar waktu agar saya tidak telat datang ke pertemuan yang sudah saya sepakati waktunya. Tindakan yang cenderung tidak nyaman untuk kita lakukan. 

Kalau dipikir-pikir buat apa saya berlarian, kan cukup sms atau whatsapp atau telp orang yang bersangkutan, bilang saja kita telat. Buat apa saya harus manjat tembok, bak sedang berolahraga di gym, padahal kita bisa saja tunggu keretanya lewat dan kita naik kereta selanjutnya? 

Jawabannya, jika kita bisa berusaha lebih, jika kita bisa mengoptimalkan kemampuan diri kita, kenapa kita harus menunggu lama untuk mencapai tujuan kita?

Kalau akhirnya kereta yang seharusnya bisa kita naiki, akhirnya sudah berangkat dan kereta yang berikutnya baru tiba 1 jam kemudian? Apakah kita akan pasrah dengan keadaan? 

Silogisme yang sama bisa kita gunakan dalam berbagai aspek kehidupan kita. Apakah kita akan terus merasa bahwa kondisi Negara yang kacau balau lah yang menjadikan kondisi keuangan kita menjadi kacau juga? Pakah kita hanya bisa merutuki keadaan dengan melemparkan semua ketidakberuntungan kita kepada pihak di luar diri kita? 

Kenapa semua ini bisa terjadi? Apakah justru sebenarnya, keadaan kita saat ini adalah karena kita terlalu nyaman ada di tempat kita saat ini dan akhirnya kita terlambat mengambil kendali atas hidup kita sendiri? Mengeluh tidak akan pernah membawa kita beranjak ke mana pun, kecuali justru membuat kita jatuh ke dalam kerusakan hati yang akan sulit diobati. Kehidupan ekonomi kita tidak akan pernah menjadi baik, jika kita tidak berusaha sama sekali? Menyerahkan semua keadaan pada Tuhan saja? Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka pun tidak berusaha untuk mengubahnya?

Sekarang, jawabannya ada di dalam relung hati kita masing-masing. Ingin berada pada kereta dengan usaha yang jauh lebih keras disbanding orang lain, atau cukup menjadi penonton dan membiarkan keretanya pergi bersama dengan kesuksesan yang seharusnya sudah ada di depan mata.

Salam
Rina Puspitaningrum



Tidak ada komentar:

Posting Komentar